Riwayat Hidup
Syamsuddin as-Sumatrani bernama asli Syamsuddin bin Abdullah.
Ia
berasal dari Pasai, Aceh, sehingga ia sering pula disebut Syamsuddin Pasai.
Perihal
sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan
penisbahan dirinya kepada "negeri Sumatra" alias Samudra Pasai. Sebab
memang di kepulauan Sumatra ini tempo dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang
cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga terkadang disebut
Syamsuddin Pasai.
Menurut kitab Bustan as-Salatin karangan Nuruddin a-Raniri, ia lahir
pada pertengahan abad dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1630, bertepatan
dengan hari Senin, 12 Rajab 1038. Tidak banyak yang dapat diketahui tentang
riwayat hidup pribadi Syamsuddin. Tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa
Syamsuddin belajar kepada Hamzah Fansuri dan juga Sunan Bonang.
Ia juga fasih dalam berbahasa Melayu, Jawa, Persia, dan Arab.
Pengetahuannya dalam mistisisme, hukum, sejarah, filsafat, dan teologi sangat
luas. Berkat kecendekiawanannya itu, Syamsuddin dipercaya untuk menduduki
jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda
Mahkota Alam (1606-1636), yaitu Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Imam
Masjid Bait al-Rahman.
Pada saat Syeh Syamsuddin masih hidup, doktrin wujudiyah diterima dan bahkan
disebarkan secara luas di Aceh dan daerah-daerah lain. Bahkan, karena besarnya
pengaruh doktrin itu, Nuruddin al-Raniri yang mewakili golongan ortodoks tidak
bersedia menghadapi Syamsuddin secara frontal dan memilih untuk menyingkir ke
Semenanjung Melaka.
Kepribadian Syamsuddin as-Sumatrani cukup berbeda dari gurunya. Hamzah
Fansuri adalah seorang sufi yang emosional karena, walaupun pengetahuannya yang
ditimbanya dari buku-buku memang sangat luas, tetapi ia terutama berpegang pada
pengalaman batin sendiri. Sedangkan Syamsuddin adalah seorang penuntut hakikat
yang “tidak begitu emosional tetapi rasional”.
Sesudah Syamsuddin meninggal, Nuruddin al-Raniri menduduki semua jabatan
yang ditinggalkannya. Dengan kekuasaannya sebagai pejabat keagamaan dan pemerintahan
Aceh, dan juga dukungan dari Sultan Iskandar Tani yang saat itu berkuasa,
Nuruddin al-Raniri memerintahkan pemberantasan gerakan wujudiyah dan pembakaran
karya-karya Hamzah Fansuri dan Syeh Syamsuddin as-Sumatrani. Hanya sedikit
karya Syamsuddin yang selamat dari api pembakaran.
Pemikiran Syamsuddin as-Sumatrani
Syamsuddin as-Sumatrani sering ditempatkan pada barisan yang sama dengan
Hamzah Fansuri, yaitu sebagai penganjur aliran wujudiyah. Seperti juga Hamzah
Fansuri, Syamsuddin mula-mula mendalami soal keesaan Wujud, asal- usul yang
banyak dari yang esa, dan soal manusia sempurna atau insan kamil. Dalam
karya-karyanya, Syamsuddin memang mengajukan pemahaman tentang Tuhan sebagai
Yang Maha Sempurna dan Yang Maha Mutlak. Maka kesempurnaan Tuhan itu mencakup
segala sesuatu termasuk seluruh alam dan manusia di dalamnya.
Dalam soal praktis ia terutama mencurahkan banyak perhatian pada ajaran
tentang zikir, atau melafazkan terus menerus pengakuan tauhid dan Nama-nama
Allah, yang akan mengantar manusia pada pemandangan atau musyahadah langsung
terhadap Hakikat Yang Tertinggi.
Terdapat perbedaan di antara dua sufi ini, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani, dalam ajaran mereka masing-masing tentang manifestasi Yang Mutlak.
Menurut Hamzah, sesudah lima manifestasi pokok (martabat-martabat pernyataan
yang Mutlak atau ta`ayyun) yang turun satu demi satu dari Zat Allah yang sama
sekali transenden, tidak ternyatakan dan terkognisi, menyusul martabat terendah
yang tidak terbilang banyaknya.
Sedangkan menurut Syamsuddin, sistem Wujud terdiri dari tujuh martabat
atau tingkatan. Karenanya sistem itu biasa disebut sebagai Martabat Tujuh.
Beberapa jalan untuk menuju kepada Tuhan itu disimpulkan oleh Syamsuddin dalam
konsep wujudiyah yang disebutnya sebagai Wujud dan Martabat Tujuh. Dalam konsep
ini, tiga konsep yang utama, yaitu ahadiyyah (ketunggalan atau keesaan yang
belum dinyatakan atau tidak dapat dikenali), wahdah (keesaan sintetik dari
istidad-istidad atau potensi-potensi Wujud) dan wahidiyah (ketunggalan analitik
dari istidad-istidad Wujud, atau Wujud yang tunggal dan sekaligus
beranekaragam). Tiga martabat ini bersifat qadim dan baqa (kekal). Sementara
itu martabat yang empat, yaitu alam arwah, alam amthal, alam ajsam, dan alam
insan adalah bayang-bayang Tuhan semata.
Walaupun demikian, menurut Syamsuddin, bayang-bayang dan yang empunya
itu sebenarnya adalah satu. Tegasnya, manusia dan Tuhan termasuk dalam satu
kesatuan yang di dalamnya terangkum alam dan segala makhluknya. Untuk itu
ungkapan yang sering digunakan oleh Syamsuddin as-Sumatrani adalah “Tiada
wujudku hanya wujud Allah.”
Dari
uraiannya tentang Martabat Tujuh, terlihat perbedaan antara Syamsuddin dengan
gurunya. Bila Hamzah Fansuri mengutamakan pengalaman batin, Syamsuddin lebih
cenderung pada cara pemikiran filsafat yang ketat dan terkadang kering.
Pengalaman mistik memang tidak asing bagi Syamsuddin, namun karya-karyanya
lebih cenderung menunjukkan dirinya sebagai ahli ilmu tasawuf, yang terutama
berpegang pada pertimbangan logis dan sistematis. Walaupun yang dominan di
dalam karangan Syamsuddin adalah pemikiran yang bergaya ilmiah, namun di
dalamnya juga terdapat citra simbolis dan perumpamaan. Salah satunya adalah
persamaan beberapa bagian mata manusia dengan alam-alam dalam ontologi sufi:
putih mata dengan alam nasut, lingkungan hitam di sekeliling selaput pelangi
dengan alam malakut, selaput pelangit itu sendiri dengan alam jabarut, dan
“mata hitam yang bernama basr”.
Karya-karya Syamsuddin as-Sumatrani
- Jawhar
al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling
lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan
pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
- Risalah
Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8
halaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van
Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena
mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid
dengan yang bukan mulhid.
- Mir’at
al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan
ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam
karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus
Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
- Syarah
Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan
ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara
lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
- Syarah
Sya’ir Ikan Tongkol (20 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan
ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal
Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
- Nur
al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya
tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung
pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
- Thariq
al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan
tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib,
mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
- Mir’at
al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini
berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
- Kitab
al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa
Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.
0 komentar