Tuesday, October 11, 2016

biografi Syamsuddin as-sumatrani





Riwayat Hidup

Syamsuddin as-Sumatrani bernama asli Syamsuddin bin Abdullah.
Ia berasal dari Pasai, Aceh, sehingga ia sering pula disebut Syamsuddin Pasai.
Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada "negeri Sumatra" alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo dulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga terkadang disebut Syamsuddin Pasai.

Menurut kitab Bustan as-Salatin karangan Nuruddin a-Raniri, ia lahir pada pertengahan abad dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1630, bertepatan dengan hari Senin, 12 Rajab 1038. Tidak banyak yang dapat diketahui tentang riwayat hidup pribadi Syamsuddin. Tetapi beberapa peneliti menyebutkan bahwa Syamsuddin belajar kepada Hamzah Fansuri dan juga Sunan Bonang.

Ia juga fasih dalam berbahasa Melayu, Jawa, Persia, dan Arab. Pengetahuannya dalam mistisisme, hukum, sejarah, filsafat, dan teologi sangat luas. Berkat kecendekiawanannya itu, Syamsuddin dipercaya untuk menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1606-1636), yaitu Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Imam Masjid Bait al-Rahman.

Pada saat Syeh Syamsuddin masih hidup, doktrin wujudiyah diterima dan bahkan disebarkan secara luas di Aceh dan daerah-daerah lain. Bahkan, karena besarnya pengaruh doktrin itu, Nuruddin al-Raniri yang mewakili golongan ortodoks tidak bersedia menghadapi Syamsuddin secara frontal dan memilih untuk menyingkir ke Semenanjung Melaka.

Kepribadian Syamsuddin as-Sumatrani cukup berbeda dari gurunya. Hamzah Fansuri adalah seorang sufi yang emosional karena, walaupun pengetahuannya yang ditimbanya dari buku-buku memang sangat luas, tetapi ia terutama berpegang pada pengalaman batin sendiri. Sedangkan Syamsuddin adalah seorang penuntut hakikat yang “tidak begitu emosional tetapi rasional”.

Sesudah Syamsuddin meninggal, Nuruddin al-Raniri menduduki semua jabatan yang ditinggalkannya. Dengan kekuasaannya sebagai pejabat keagamaan dan pemerintahan Aceh, dan juga dukungan dari Sultan Iskandar Tani yang saat itu berkuasa, Nuruddin al-Raniri memerintahkan pemberantasan gerakan wujudiyah dan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri dan Syeh Syamsuddin as-Sumatrani. Hanya sedikit karya Syamsuddin yang selamat dari api pembakaran.

Pemikiran Syamsuddin as-Sumatrani

Syamsuddin as-Sumatrani sering ditempatkan pada barisan yang sama dengan Hamzah Fansuri, yaitu sebagai penganjur aliran wujudiyah. Seperti juga Hamzah Fansuri, Syamsuddin mula-mula mendalami soal keesaan Wujud, asal- usul yang banyak dari yang esa, dan soal manusia sempurna atau insan kamil. Dalam karya-karyanya, Syamsuddin memang mengajukan pemahaman tentang Tuhan sebagai Yang Maha Sempurna dan Yang Maha Mutlak. Maka kesempurnaan Tuhan itu mencakup segala sesuatu termasuk seluruh alam dan manusia di dalamnya.

Dalam soal praktis ia terutama mencurahkan banyak perhatian pada ajaran tentang zikir, atau melafazkan terus menerus pengakuan tauhid dan Nama-nama Allah, yang akan mengantar manusia pada pemandangan atau musyahadah langsung terhadap Hakikat Yang Tertinggi.

Terdapat perbedaan di antara dua sufi ini, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dalam ajaran mereka masing-masing tentang manifestasi Yang Mutlak. Menurut Hamzah, sesudah lima manifestasi pokok (martabat-martabat pernyataan yang Mutlak atau ta`ayyun) yang turun satu demi satu dari Zat Allah yang sama sekali transenden, tidak ternyatakan dan terkognisi, menyusul martabat terendah yang tidak terbilang banyaknya.

Sedangkan menurut Syamsuddin, sistem Wujud terdiri dari tujuh martabat atau tingkatan. Karenanya sistem itu biasa disebut sebagai Martabat Tujuh. Beberapa jalan untuk menuju kepada Tuhan itu disimpulkan oleh Syamsuddin dalam konsep wujudiyah yang disebutnya sebagai Wujud dan Martabat Tujuh. Dalam konsep ini, tiga konsep yang utama, yaitu ahadiyyah (ketunggalan atau keesaan yang belum dinyatakan atau tidak dapat dikenali), wahdah (keesaan sintetik dari istidad-istidad atau potensi-potensi Wujud) dan wahidiyah (ketunggalan analitik dari istidad-istidad Wujud, atau Wujud yang tunggal dan sekaligus beranekaragam). Tiga martabat ini bersifat qadim dan baqa (kekal). Sementara itu martabat yang empat, yaitu alam arwah, alam amthal, alam ajsam, dan alam insan adalah bayang-bayang Tuhan semata.

Walaupun demikian, menurut Syamsuddin, bayang-bayang dan yang empunya itu sebenarnya adalah satu. Tegasnya, manusia dan Tuhan termasuk dalam satu kesatuan yang di dalamnya terangkum alam dan segala makhluknya. Untuk itu ungkapan yang sering digunakan oleh Syamsuddin as-Sumatrani adalah “Tiada wujudku hanya wujud Allah.”

Dari uraiannya tentang Martabat Tujuh, terlihat perbedaan antara Syamsuddin dengan gurunya. Bila Hamzah Fansuri mengutamakan pengalaman batin, Syamsuddin lebih cenderung pada cara pemikiran filsafat yang ketat dan terkadang kering. Pengalaman mistik memang tidak asing bagi Syamsuddin, namun karya-karyanya lebih cenderung menunjukkan dirinya sebagai ahli ilmu tasawuf, yang terutama berpegang pada pertimbangan logis dan sistematis. Walaupun yang dominan di dalam karangan Syamsuddin adalah pemikiran yang bergaya ilmiah, namun di dalamnya juga terdapat citra simbolis dan perumpamaan. Salah satunya adalah persamaan beberapa bagian mata manusia dengan alam-alam dalam ontologi sufi: putih mata dengan alam nasut, lingkungan hitam di sekeliling selaput pelangi dengan alam malakut, selaput pelangit itu sendiri dengan alam jabarut, dan “mata hitam yang bernama basr”.
Karya-karya Syamsuddin as-Sumatrani

  1. Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
  2. Risalah Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 halaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
  3. Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah).
  4. Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
  5. Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
  6. Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
  7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya.
  8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
  9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Load disqus comments

0 komentar