Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Friday, February 23, 2018

Makalah Tentang Wayang Golek



Daftar isi


Daftar isi .........................................................................................................................................

Bab I pendahuluan ..........................................................................................................................
A. Latar belakang ............................................................................................................................

Bab II………………………………………..................................................................................
A. permasalahan ..............................................................................................................................

Bab III Pembahasan………………….............................................................................................
A. Sejarah …………….. ................................................................................ ……………………
B. jenis - jenis wayang golek  ............................................................................. ………………...
C. pembuatan wayang golek ..........................................................................................................
D. Nilai budaya pada wayang golek................................................................................................
E. Kondisi kesenian wayang golek ……………………………………………………………….
F. Apakah kesenian wayang golek akan punah…………………………………………………...

Bab IV penutup………………….. ...............................................................................................
A. Kesimpulan ..............................................................................................................................

Daftar pustaka ……………………...............................................................................................









BAB 1
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa.
Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".https://semangatsekolahsma.blogspot.com/2018/02/makalah-tentang-wayang-golek.html












BAB 2


B.       Permasalahan
1.    Bagaimana asal mula adanya wayang golek?
2.    Apa saja jenis-jenis wayang golek?
3.    Bagaimana cara pembuatan wayang golek?
4.    apa saja budaya yang terkandung dalam kesenian wayang golek?
5.    Bagaimana kondisi kesenian wayang golek di era globalosasi?
6.    apakah kesenian wayang goilek akan punah?





























BAB 3
PEMBAHASAN

A.      Sejarah
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.







B.       Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepakwayang golek purwa, danwayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.

C.      Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.

D.      Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.




 
E.      Kondisi Kesenian Wayang Golek 

1.      Pagelaran Wayang Golek
Wayang golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu. Dalam pertunjukan wayang golek, terdapat beberapa peran atau faktor internal yang mendukung pementasan wayang golek, diantaranya adalah peran sentral tentulah dengan adanya seorang dalang, para nayaga (pemukul gamelan), dan sinden. Dalang adalah orang yang memainkan wayang, sedangkan sinden adalah penyanyi wanita pada seni gamelan jawa atau pada pementasan wayang. Pada pertunjukan wayang golek biasanya lakon yang sering dipertunjukkan adalah lakon karangan, hanya kadang-kadang saja dipertunjukkan juga lakon galur. Hal ini seakan menjadi sebuah tolak ukur bagi seorang dalang untuk memberikan suatu nuansa baru atau kecerdasan dalam berinovasi dalam menciptakan suatu pementasan wayang golek yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Dede Amung Sunarya, Cecep Supriadi dll.
Musik yang dipergunakan untuk mengiringi pagelaran Wayang Golek adalah karawitan Sunda yang berlaraskan pelog/salendro. Instrumen musik tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending, adapun alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :
1.       Saron 1 Saron 2 – Peking – Demung – Selentem
2.       Bonang – Rincik – Kenong – Gambang
3.       Rebab – Kecrek – Kendang – Bedug Gong
Kedudukan musik dalam pergelaran wayang golek demikian pentingnya, ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan perang wayang, dialog, pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan, semuanya diiringi dengan musik di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan dengan karakter-karakter wayang yang diiringinya.
2.      Kondisi Kesenian Wayang Golek Pada Masa Kejayaanya
Pada zaman dahulu, kesenian wayang golek dalam masyarakat selain difungsikan sebagai suatu hiburan tontonan semalam suntuk, akan tetapi memiliki fungsi yang relevan sebagai suatu kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, yaitu kebutuhan spiritual maupun material, secara yang memberikan suatu pesan dan moral dalam sosial masyarakat sedangkan secara material dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek. Pada masyarakat pedesaan, wayang golek dapat dijadikan alat untuk mengukur status sosial seseorang. Artinya apabila di kampung mereka ada orang yang menanggap wayang golek, apalagi dalangnya ternama, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai orang berada.

3.      Kondisi Kesenian Wayang Golek Pada Saat Ini
Ditengah era modern seperti sekarang ini, keberadaan kesenian wayang golek mulai terancam punah. Hal itu bisa terjadi jika tak ada generasi bangsa ini yang melestarikan kesenian yang sudah bertahuntahun tumbuh di Tanah Air kita. Hidup matinya Wayang Golek tergantung sejauh mana masyarakat melestarikannya. Jika masyarakat membiarkannya, maka ia akan hilang sebagai kesenian Indonesia. Wayang golek sendiri mayoritas di gemari di daerah jawa barat, hal itu di karenakan bahasa yang digunakan dalam pementasan wayang golek biasanya adalah bahasa sunda (bahasa sehari-hari yang digunakan dan dipahami warga jawa barat). Namun kendala tersebut tentunya bukan menjadi alasan dan halangan bagi perkembangan wayang golek untuk go nasional dan internasional. Jika melihat realita yang ada justru perkembangan pementasan wayang golek dari tahun ke tahun semakin mendekati kepunahan, hal ini bisa terlihat dengan semakin jarangnya acara-acara pementasan wayang golek. Dulu biasanya jika ada acara hajatan pernikahan atau khitanan sering didatangkan wayang golek, namun belakangan lebih banyak menyuguhkan organ tunggal, mengundang artis terkenal, dll. Selain itu, kita tahu bahwa harga pementasan wayang golek sangatlah mahal, karena banyaknya unsur yang berperan dalam pementasan wayang golek tidak hanya satu atau dua orang saja, tetapi terdapat peran faktor internal dan eksternal didalamnya. Serta keberadaan dalang-dalang yang berkualitaspun semakin sedikit, hal itu bisa dilihat ketika even atau ajang-ajang adu dalang yang memperlombakan kemampuan dalang dalam memainkan wayangnya yang semakin hari semakin sedikit yang mengikuti ajang tersebut. Padahal ajang tersebut merupakan suatu indikator yang dapat menilai kemampuan dan keberadaan dari kuantitas dalang yang ada di Indonesia, khususnya dalang wayang golek.
   Indikator yang lainnya adalah masyarakat di daerah jawa barat sekarang lebih cenderung menyukai pertunjukan atau tontonan lain selain wayang golek, memang masih ada yang masih menyukai dan menonton pementasan wayang golek, akan tetapi untuk sekarang mungkin bisa dihitung jumlahnya mana yang masih senang dengan wayang golek dengan yang tidak senang dengan wayang golek. Beberapa tahun yang lalu mungkin kita masih bisa melihat penayangan wayang golek di stasiun televisi, namun untuk sekarang sangatlah jarang kita melihat suatu pementasan wayang golek di stasiun televisi. Jika melihat dari berbagai fenomena yang terjadi tersebut kita bisa merasakan dan menyimpulkan bahwa bagaimana wayang golek bisa go nasional dan internasional jika untuk berkembang di daerah sendiri saja sudah sulit dan sudah jarang digemari oleh masyarakat, minimnya ekspos ke dalam berbagai media, baik itu media massa,surat, media televisi, dan lain-lain serta kuantitas dari dalang itu sendiri semakin berkurang.

F.      Akankan Kesenian Wayang Golek Punah?
Kesenian wayang golek yang mulai terlupakan oleh masyarakat  indonesia ini merupakan suatu masalah yang sangat besar, yang tentunya harus dicari segera mungkin pemecahahan masalah dan solusinya. pemerintah Indonesia harus bisa menemukan suatu cara atau kebijakan inovatif untuk menjaga kelestarian wayang golek agar tidak punah ditelan oleh zaman. Identitas suatu bangsa dan negara dapat terlihat dari budayanya, Indonesia yang kaya akan budaya akan terlihat maju dan di pandang oleh negara lain jika dapat melestarikan dan menunjukkan eksistensi budaya tersebut. Ambil contoh negara Jepang, walaupun sudah menjadi negara dengan tingkat perekonomian yang maju, tetapi masih menjungjung tinggi dan melestarikan budayanya tersebut. Negara maju saja masih melestarikan dan mengerti bahwa kebudayaan dalam suatu negara itu penting sebagai identitas suatu negara, sedangkan Indonesia? malah kebudayaan milik dan warisan kita sendiri sekarang oleh negara lain masih suka di akui bahwa kebudayaan milik Indonesia adalah kebudayaan miliknya, bukan milik Indonesia. Hal ini semakin menandakan bahwa Indonesia itu adalah negara kaya akan kebudayaan, namun kebudayaan tersebut jika tidak dikembangkan dan dilestarikan di negara ini sehingga dapat dengan mudah negara lain menuduh bahwa beberapa kebudayaan milik Indonesia adalah miliknya. Kita berharap ke depannya tidak akan terjadi hal demikian, serta adanya suatu kesadaran pula dari masyarakat tentang pentingnya mengenal dan melestarikan budaya Indonesia, khususnya wayang golek.




















BAB 4
PENUTUP

A.      Kesimpulan
A.    Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
B.     Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali.
C.     Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
D.    asal kata wayang. Pendapat pertama mengatakan wayang berasal dari kata wayangan­ ataubayangan yaitu sumber ilham, yang maksudnya yaitu ide dalam menggambar wujud tokoh. Sedangkan pada pendapat kedua mengatakan kata wayang berasal dari Wad danHyang, artinya leluhur.
E.     Dalam Kamus Bahasa Indonesia Wayang berarti sesuatu yang dimainkan ki Dalang berupa gambar pahatan dari kulit binatang, melambangkan watak-watak manusia.
F.      Kesenian wayang golek di Indonesia mulai terlupakan yang merupakan masalah yang sangat besar.



















DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang
http://aftaryan.wordpress.com/2008/03/14/pengertian-wayang/

Read more

Saturday, August 12, 2017

arti penting kemerdekaan Indonesia bagi bangsa Indonesia


                Indonesia merdeka pada 17 agustus 1945, masyarakat Indonesia selalu merayakan kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 agustus yang di lakukan dengan meriah ,mulai dari perlombaan kecil seperti balap karung, makan kerupuk dll hingga upacara militer di istana Negara

                Namun, apakah kalian tahu tentang arti kemerdekaan Indonesia bagi bangsa Indonesia?.Berikut akan kita ulas 3 arti kemerdekaan Indonesia bagi bangsa Indonesia:

1. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah puncak perjuangan bangsa ini. serangkaian perjuangan menentang kaum penjajah akhirnya mencapai pada suatu puncak, yakni kemerdekaan.

2. Dengan kemerdekaan, berarti bangsa Indonesia mendapatkan suatu kebebasan. Bebas dari segala bentuk penindasan dan penguasaan bangsa asing. Bebas menentukan nasib bangsa sendiri. Hal ini berarti bahwa Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berdaulat, bangsa yang harus memliki tanggung jawab sendiri dalam hidup berbangsa dan bernegara.

3. Kemerdekaan adalah “jembatan emas” atau merupakan pintu gerbang untuk menuju masyarakat adil dan makmur. Jadi, dengan kemerdekaan itu bukan berarti perjuangan bangsa sudah selesai. Tetapi, justru muncul tantangan baru untuk mempertahankan dan mengisinya dengan berbagai kegiatan pembangunan.

Merdeka, bukan berarti perjuangan selesai. Justru merupakan sebuah awal perjuangan rakyat untuk melanjutkan dan mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat harus terus berjuang untuk dapat memakmurkan kehidupan masyarakat selanjutnya supaya perjuangan pahlawan yang telah gugur mendahului kita tidaklah sia-sia.

Dengan modal kemerdekaan, suatu bangsa akan memiliki harga diri dan dapat bersama-sama duduk saling berdampingan dengan bangsa-bangsa di dunia. Memiliki harkat martabat yang sama tanpa diinjak-injak oleh negara lain seperti para penjajah di masa lampau yang terjadi di Indonesia.

Sekian terima kasih? J



Read more

Wednesday, August 2, 2017

Biografi R.A Kartini



Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini, beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita kala ia hidup.

Mengenai Biografi dan Profil R.A Kartini, beliau lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara, Hari kelahirannya itu kemudian diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa Indonesia.

Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya, gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa.

Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara, beliau ini merupakan kakek dari R.A Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini dilahirkan.

Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI, bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit.

Ibu R.A Kartini yaitu M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga, hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.


R.A Kartini sendiri memiliki saudara berjumlah 11 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini juga berhak memperoleh pendidikan.

Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk 'dipingit'.

Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.

Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.

R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda, di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

 ...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu - (R.A Kartini)."

Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan, R.A Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.

Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.

Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Kartini menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini, dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme.

Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.

Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle "Stella" Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.

Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia atau pun kuliah di negeri Belanda meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana sebab pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri
Read more

Saturday, October 15, 2016

Sejarah kerajaan Cirebon


Sejarah kerajaan Cirebon
Sejarah kerajaan Cirebon
sejarah kerajaan cirebon

Terlalu sedikit diketahui tentang sejarah Jawa Barat dari zaman sebelum Islam. Karya-karya tulisan Sunda kuno, yang mestinya dapat memberikan keterangan-keterangan, tersimpan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga sukar diselidiki.
Sudah sejak zaman pra-Islam Jawa Barat terpengaruh oleh peradaban Jawa. Karena penyebaran agama Islam oleh orang Jawa yang telah merebut daerah sepanjang pantai utara (perebutan daerah ini akan dibicarakan dalam bagian-bagian berikutnya), bahasa Sunda sebagai bahasa tulis untuk waktu lama telah terdesak oleh bahasa Jawa. Baru pada abad ke-18 dan ke-19 menulis dalam bahasa Sunda mulai menjadi kebiasaan lagi. Balada-balada dan sajak-sajak kepahlawanan dalam bahasa Sunda, yang ditulis pada abad ke-19, memuat beberapa cerita legenda tentang zaman dahulu (prasejarah). Bagi sejarawan, legenda-legenda ini sedikit saja artinya.
 Hanya dua legenda Jawa yang perlu diberitakan di sini, yaitu yang mengisahkan adanya hubungan antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Satu dari dua cerita ini menganggap bahwa berdirinya kota kerajaan Majapahit itu berkat usaha seorang pangeran Sunda, yang konon terpaksa melarikan diri dari tanah asalnya. Legenda ini mempunyai beberapa versi, yang termuat dalam buku-buku cerita (Serat Kandha) dan cerita-cerita babad, baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun di Jawa Barat. Tidak diketahui apa yang menjadi dasar penyusunannya; legenda itu tidak didasarkan pada cerita sejarah yang sudah dikenal dari tulisan Jawa yang lebih dapat dipercaya.
Cerita lain tentang hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa Timur terdapat dalam balada-balada Jawa atau Jawa-Bali, boleh jadi dari abad ke-15 atau ke-16, yang melukiskan suatu ekspedisi raja Sunda ke Majapahit, dan kekalahannya dalam pertempuran melawan raja Jawa. Seorang putri Sunda, yang seharusnya diperuntukkan bagi raja Majapahit, memegang peranan penting dalam legenda ini.
Juga tentang cerita ini kebenaran sejarahnya diragukan secara menyeluruh atau sebagian.
Satu-satunya yang dapat kita simpulkan dari adanya legenda-legenda Jawa ini ialah kemungkinan adanya hubungan lama yang tidak selalu bersahabat - mungkin lewat laut di sepanjang pantai utara - antara Sunda dan Jawa Timur. Waktu penduduk Jawa Islam dari Jawa Tengah telah menguasai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat, berakhirlah hubungan langsung antara Jawa Timur dan Jawa Barat.
Daerah-daerah yang sering disebut dalam legenda-legenda Sunda sebagai daerah kekuasaan raja-raja yang dianggap penting ialah Pajajaran dan Galuh. Keraton Pajajaran konon terletak dekat Kota Bogor sekarang. Di situ ditemukan suatu piagam batu bertulis dari zaman Pajajaran (bertahun 1333 M.).
Kota pelabuhan di pantai utara Pajajaran terletak dekat muara Ciliwung, tempat Jakarta sekarang. Sebelum zaman Islam, tempat itu bernama Sunda Kelapa; nama Kalapa ini kiranya masih lama dikenal orang Indo-Cina. Nama Jakarta, Jaya- Karta, itu diberikan oleh Jawa Islam dari Banten yang telah merebutnya (lihat Bab VIII-4).
Daerah Galuh dahulu terletak di sebelah barat dan barat daya Kota Cirebon sekarang. Tidak diketahui dengan tepat tempat tinggal raja-raja Galuh dahulu. Dapat diduga, Indramayu (mungkin dahulu bernama Dermayu), dekat muara Cimanuk - sungai yang mempunyai daerah aliran yang luas - dahulu merupakan kota pelabuhan Kerajaan Galuh, kerajaan tua di Sunda. Akibat endapan-endapan lumpur, pangkalan lautnya sekarang tidak berarti lagi.

VII-2      Permulaan Jawa Barat memeluk agama Islam: Cirebon
Salah satu berita tertua tentang Cirebon dalam hubungannya dengan agamaIslam terdapat dalam buku Suma Oriental, karangan musafir Portugis, Tome Pires. Yang disebutkan oleh Tome Pires sebagai pendiri pedukuhan Islam pertama (mungkin) di Cirebon ialah ayah Pate Rodin Sejarah keluarga Cina ini, yang menurut Tome Pires konon menurunkan raja-raja Demak, telah dibicarakan panjang lebar dalam Bab II-2. Setelah mendarat di Gresik (dan mungkin memeluk agama Islam), lebih dulu Cu-Cu menetap di Demak. Pada waktu itu (dalam sepuluh tahun terakhir abad ke-15) Demak masih diperintah oleh seorang penguasa "kafir", raja taklukan maharaja Majapahit. Penguasa Demak itu telah memanfaatkan jasa-jasa pedagang Cina Islam tersebut, mungkin untuk meningkatkan perkembangan ekonomi kota pelabuhannya. Dalam hubungan itu, sesudah beberapa waktu berlalu ia mengutus Cu-Cu ke Barat, ke Cirebon (atau mungkin membantu prakarsa Cu-Cu dengan kekuasaan dan slat-alat) untuk mendirikan perkampungan di sana, yang akan membantu hubungan dagang yang makin meluas antara Demak dan Jawa Barat. Rupanya, usaha pedagang Cina itu berhasil baik. Sesudah beberapa waktu, setelah menjadi kaya dan mempunyai sekadar kekuasaan, ia kembali ke Demak. Kemudian keluarganya dapat pula memegang kekuasaan pemerintahan di kota pelabuhan itu.
Pemberitaan Tome Pires tentang dasawarsa terakhir abad ke-15 ini tidak dikuatkan oleh cerita-cerita Jawa atau Sunda. Oleh karena musafir Portugis itu kira-kira 25 tahun kemudian berada di Jawa, berita itu pantas dipercaya. Dari keadaan demikian kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Demak secara pasti dan nyata menjadi Islam, sudah ada hasrat yang kuat untuk memperluas kekuasaan (ekonomi) ke arah barat. Panen padi yang sangat besar, yang dihasilkan dataran rendah aluvial (berkat endapan lampur) yang subur sepanjang pantai utara Kendal dan Cirebon itu, merupakan hasil tambahan yang lumayan bagi perdagangan beras Demak dengan pedagang-pedagang dari seberang.
Dari pemberitaan Tome Pires tidak terbukti bahwa Cina Islam itu di Cirebon telah mendirikan permukiman yang benar-benar baru. Nama tempat itu menimbulkan dugaan bahwa penduduk aslinya orang-orang Sunda. Menurut berita Pires, pangkalan laut yang bagus itu telah dijadikan alasan bagi orang yang penuh inisiatif itu untuk mendirikan factorij 'perkantoran yang diperkuat' bagi perdagangan Demak. Kemungkinan, daerah Cirebon (seperti beberapa daerah lain di sebelah timurnya) ada di bawah kekuasaan raja "kafir" Sunda di Galuh dan Pajajaran. Kerajaan Galuh konon sudah kehilangan kemerdekaannya pada zaman dahulu.
Tome Pires menyebut beberapa kota pelabuhan antara lain Cirebon dan Demak yang pada permulaan abad ke-16 agak penting, yaitu Losari, Tegal, dan Semarang. Mengenai sejarah kota-kota ini ia tidak dapat memberikan keterangan yang terinci. Yang jelas dapat diterima ialah bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon diselenggarakan dengan kapal-kapal pantai, seperti juga hubungan antara Demak dan Gresik, tempat asal Cu-Cu. Musafir Portugis itu juga memberikan beberapa keterangan mengenai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat yang masih menjadi milik raja Pajajaran yang "kafir" itu, yang menolak kedatangan "kaum Moor" (orang-orang Islam). Ini secara tidak langsung menguatkan dugaan bahwa kampung dagang, yang oleh perantara Cina dari Demak didirikan di Cirebon, merupakan tambahan daerah bagi kaum Islam.
Suma Oriental masih memuat berbagai pemberitaan mengenai perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka. Kepala kampung Jawa dekat Malaka atau di Malaka, yang bernama Upeh, konon berasal dari Cirebon. Oleh orang Portugis ia disebut Pate Kedir. Pate Kedir dari Malaka-Upeh ini kiranya di tempat asalnya Cirebon termasuk orang yang terpandang, juga di kalangan raja. Tidak diketahui siapa raja itu.
 Oleh karena Tome Pites meninggalkan Jawa kira-kira pada tahun 1515, maka berita-berita tentang perdagangan laut yang pesat di Cirebon itu diperkirakan menyangkut masa akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dari pemberitaannya, dapat dipahami bahwa pada waktu itu baik di Demak maupun di Cirebon terbentuk kelompok-kelompok pedagang Islam yang berhubungan antara yang satu dan yang lain. Para anggota kelompok-kelompok itu konon orang-orang berdarah campuran. Masih belum dilupakan orang bahwa keluarga-keluarga terkemuka mempunyai asal usul Cina.

VII-3      Wali dari Cirebon, Sunan Gunungjati, legenda dan sejarah
Cerita tutur Jawa dan Sunda mengenai permulaan agama Islam di Cirebon ternyata tidak memberitakan apa-apa tentang jemaah Islam lama, yang disebut oleh Tome Pires dan yang asal mulanya sama dengan yang ada di Demak. Menurut cerita-cerita pribumi, pujian tentang pengislaman daerah-daerah ini sepenuhnya ditujukan kepada satu orang perintis agama saja, yang sesudah meninggal diberi julukan Sunan Gunungjati, sesuai dengan nama bukit dekat Cirebon tempat beliau dimakamkan.
Ada sebuah legenda Jawa yang menceritakan bahwa seorang saudara sepupu atau kakak Raden Rahmat (yang kelak menjadi Sunan Ngampel Denta, orang suci di Surabaya) telah menetap di Grage (yaitu Cirebon). la bernama Jenal Kabir. Menurut legenda ini, agama Islam di Jawa Timur dan di Jawa Barat itu sama tuanya. Kecenderungan cerita yang mudah ditafsirkan ini menyebabkan legenda itu kurang dapat dipercaya.
Patut dicatat suatu kisah dalam buku cerita Jawa (Serat Kandha), bahwa Aria Bangah - raja Galuh atau Pajajaran dalam legenda Sunda - adalah anak seorang wanita Islam dari Grage. Jadi, menurut cerita ini, terjalin hubungan keluarga antara masyarakat Islam dan keluarga raja Sunda. Cerita Jawa Timur tentang Ratu Darawati, putri Islam dari Campa, yang telah dimasukkan ke dalam keputrian istana raja Majapahit, merupakan cerita yang senada dengan legenda tentang Cirebon ini.
Selain dari cerita-cerita yang berdiri sendiri-sendiri ini, yang ditemukan dalam sebuah buku cerita, menurut pendapat umum di kalangan penulis cerita-cerita babad, Sunan Gunungjati telah mengangkat agama Islam menjadi agama yang paling penting di Jawa Barat. Banyak cerita dalam kesusastraan Jawa dan Jawa - Sunda yang mengisahkan asal usul dan kehidupan orang suci dari Cirebon ini. Dalam penelitian sejarah ini hal-hal tersebut tidak akan dikemukakan sebab cerita-cerita itu pada umumnya termasuk kelompok legenda tentang orang-orang suci Islam yang bersifat edukatif. Mungkin mitos-mitos kuno dari zaman pra-Islam, dan yang berasal dari Jawa Barat, telah banyak menambah legenda tentang para pendakwah Islam di tanah Sunda, Banten, dan Cirebon ini.
Laporan-laporan dan kisah perjalanan orang Portugis memuat cukup banyak pemberitaan yang dapat dipercaya tentang penyebar agama Islam ini, yang kemudian berkembang menjadi seorang negarawan dan pendiri kerajaan-kerajaan di Cirebon dan Banten. Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya tentang Sadjarah Banten, dan dalam karangan-karangan ilmiahnya yang terbit kemudian, banyak menaruh perhatian terhadap sejarah orang suci ini. la bernama Nurullah; kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Ibnu Molana. Penulis-penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril, yang menurut Djajadiningrat merupakan satu orang saja.
 Orang yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunungjati itu berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Di situ agama Islam pada akhir abad ke-13 sudah menjadi agama yang paling kuat. Rupanya, perdagangan dengan daerah-daerah di Seberang (Malaka) dan dengan daratan Asia selama dua abad telah mengakibatkan terjadinya percampuran ras di kalangan terkemuka di kota-kota pelabuhan.
Dengan direbutnya Pasei oleh orang-orang Portugis pada tahun 1521, maka Nurullah pergi naik haji ke Mekkah. Tindakan itu, karena dilakukan pada waktu sulitnya hubungan perjalanan dan adanya peperangan di berbagai daerah, jelas merupakan bukti dari semangat keagamaan dan kerasnya kemauan. Setelah kembali dari Tanah Suci pada tahun 1524, ia tidak bermukim di Sumatera Utara atau di Semenanjung, yang dikuasai atau terancam oleh bangsa Portugis yang kafir itu, melainkan ia pergi ke Pulau Jawa; di sana ia disambut baik di keraton raja Demak, yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam. Konon, ia diberi hadiah saudara perempuan Raja Tranggana sebagai istri. Mungkin Nurullah, sebagai peziarah dari Mekkah, mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan Turki di Asia Depan dan Eropa Timur. la menganjurkan kepada raja Demak, iparnya, untuk bertindak sebagai raja Islam sejati. Gelar sultan yang dipakai Tranggana, dan perluasan kekuasaannya dengan kekerasan yang merugikan kerajaan "kafir" Majapahit, mungkin sebagian merupakan pengaruh iparnya, yang dalam perjalanannya telah menginsafi benar panggilan Islam untuk memperluas daerahnya.
Dengan izin dan bantuan Sultan Tranggana, tidak lama sesudah tahun 1524 Nurullah berangkat dari Demak menuju ke Banten untuk mendirikan jemaah Islam di daerah raja "kafir" Pajajaran. Perkembangan Banten akan dibicarakan dalam Bab berikut ini.
Menurut pemberitaan penulis Portugis, Mendez Pinto (yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya), penguasa Islam di Banten yang masih baru ini pada tahun 1546 ikut serta dalam serangan Demak terhadap Pasuruan (baca: Panarukan) di ujung timur Jawa, suatu serangan yang berakibat buruk bagi Sultan Tranggana. Menurunnya kekuasaan pusat, sesudah wafatnya Sultan Tranggana, dimanfaatkan oleh Nurullah dari Banten untuk menetap di Cirebon. Dapat diduga bahwa pada zaman pemerintahan Sultan Tranggana, kota pelabuhan Cirebon dengan masyarakat Islamnya yang berdarah campuran Cina itu tidak besar kebebasannya. Sunan Gunungjati-lah yang berhasil mengubah Cirebon menjadi ibu kota kerajaan yang merdeka.
Waktu ia benar-benar telah pindah dari Banten ke Cirebon, umurnya telah lebih dari 60 tahun. Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan Banten yang makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui orang. Dapat dimengerti bahwa ia - juga karena asal usul istrinya dari Demak - lebih suka tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah, yaitu Masjid Demak, daripada di sudut negeri yang paling barat. Cerita-cerita tutur Jawa memberitakan adanya pengaruh kebudayaan di Cirebon yang datang dari peradaban Majapahit yang "kafir" itu, yang keluarga-rajanya pada tahun 1526 telah diusir oleh orang-orang Islam. Tempat kediaman raja di Cirebon, yang masih ada peninggalan-peninggalannya, dengan jelas menunjukkan adanya ciri-ciri yang meniru contoh Jawa lama dari abad ke-18 (lihat Pigeaud, Java, jil V, denah I dan fI). Tidak ada kepastian bahwa Sunan Gunungjati, segera sesudah menetap di Cirebon, mulai mendirikan keraton besar. Yang jelas ialah bahwa ia telah menyuruh membuat masjid yang besar, atau menyuruh memperluas tempat ibadat yang ada, dengan gaya yang sama seperti Masjid Suci Demak, yang telah menjadi model bagi semua masjid besar di kota-kota besar Jawa. Tahun yang ditatah pada batu bangunan pada masa pemerintaho raja pertama yang merdeka di kota itu.
Menurut cerita Banten (Sadjarah Banten), Sunan Gunungjati itu sampai tahun 1552 masih berkedudukan di Banten. Kabarnya, ia telah menyerahkan Cirebon yang sudah lama dikuasainya kepada salah seorang putranya. Baru sesudah putra itu - yang hanya dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, yang mengingat tempat makamnya - meninggal pada tahun 1552, sultan yang telah tua itu mengambil keputusan untuk pindah selama-lamanya dari Banten ke Cirebon. Mungkin ia bermaksud juga membaktikan dirinya pada kehidupan rohani dan penyebaran agama Islam. Di kota pelabuhan Banten yang ramai itu tinggallah putranya yang lain, Hasanuddin, sebagai raja.
Sementara itu, ada kemungkinan bahwa pada masa hidup Sultan Tranggana dari Demak (ia meninggal pada tahun 1546) Sunan Gunungjati - setidaknya sekali-sekali - telah tinggal di Cirebon. Cerita yang memberitakan bahwa ia di situ telah menerima Sahid dari Tuban, yang kelak menjadi Sunan Kalijaga, yang diberinya salah seorang anak perempuannya sebagai istri, memang layak dipercaya. Sahid, seorang bangsawan Jawa yang mungkin berasal dari kerajaan tua Majapahit, sesudah bertempat tinggal di Cirebon baru pergi ke Keraton Demak (mungkin dengan membawa rekomendasi dari Orang Suci Nurullah kepada iparnya Sultan Tranggana). Penghormatan tinggi yang diterima oleh bangsawan Jawa dari Tuban itu di Keraton Demak agaknya telah menyebabkan penghulu Masjid Suci (di Demak) meninggalkan Demak dan mendirikan "kota suci" Kudus (lihat Bab IV-2).
Raja yang tua itu, yang mungkin semasa hidupnya sudah memakai gelar susuhunan, pada tahun 1570 meninggal dalam usia lanjut di Cirebon - mungkin telah lebih dari 80 tahun. la dimakamkan di bukit rendah di luar kota, Gunungjati, konon mula-mula bernama Gunung Sembung. Mungkin juga bahwa ia semasa hidupnya pernah tinggal di situ. (Bandingkanlah Susuhunan Prawata dari Demak, dan Sunan Giri dari Gresik; mereka hidup sezaman).
Pengaruh agama yang meluas dari Cirebon ke tanah Sunda ternyata besar sekali. Makam susuhunan suci dari Gunungjati merupakan tempat ziarah yang paling ramai dikunjungi orang di Jawa Barat. Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa dan kesenian Jawa ke tanah Sunda bagian timur merupakan pengaruh Cirebon.
Kekuasaan pemerintahan yang berarti tidak dimiliki susuhunan dari Cirebon. la berusaha memperkuat posisi politiknya dengan jalan perkawinan. Setelah ia sendiri kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana dari Demak, ia menyuruh putranya, Hasanuddin dari Banten, pada tahun 1552 kawin dengan putri yang ditinggalkan raja. Sultan Pajang, Jaka Tingkir, dan Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang karena jatuhnya keluarga-raja Demak telah menjadi penguasa-penguasa yang paling kuat di Jawa Tengah, sangat menghormati dia.
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa wibawa kerohanian Sunan Gunungjati dan penggantinya di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan dengan "para ulama" Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan lebih-lebih pada abad ke-17 (Djajadiningrat, Banten, hal. 100 dan seterusnya). Mungkin perlu diperhitungkan juga bahwa Gresik dan Surabaya pada awal abad ke-16 sudah mempunyai jemaah Islam. Lagi pula, pengaruh agama Islam yang datang dari Giri/Gresik dikuatkan lagi oleh kenangan akan peradaban "kafir", yang beberapa abad lamanya telah berkembang di Jawa Timur. Dalam kedua hal itu, yaitu usia tradisi Islam dan perkembangan kebudayaan pada abad ke-16 dan ke-17 dan sesudahnya, Jawa Barat masih ketinggalan dari Jawa Timur.

VII-4      Pemimpin•pemimpin agama Cirebon yang selanjutnya
Menurut cerita sejarah di Jawa Barat, pada tahun 1570 Sunan Gunungjati sebagai penguasa Cirebon telah diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat sedikit yang diketahui. Di satu pihak, ia telah mengalami kemakmuran Banten sebagai kota pelabuhan dan runtuhnya kerajaan "kafir" terakhir di Jawa Barat, yaitu Pakuwan Pajajaran. Tidak ada bukti bahwa prajurit-prajurit dari Cirebon ikut bertempur dalam penaklukan Pakuwan; konon Pakuwan telah diduduki oleh orang-orang dari Banten. Di pihak lain, raja Cirebon yang kedua mengalami kematian Sultan Pajang pada tahun 1586 dan lahirnya Kerajaan Mataram di Jawa Tengah sebelah selatan.
Sungguh menarik perhatian bahwa raja-raja Mataram sejak semula dalam perempat terakhir abad ke-16, mempunyai hubungan yang cukup baik dengan penguasa-penguasa setempat di daerah Jawa sebelah barat daerah inti kerajaan, yakni daerah itu di sebelah barat Sungai Bogowonto. Para penguasa di daerah pedalaman bagian barat Jawa dan juga para raja Cirebon agaknya tidak memberikan perlawanan dan mengakui penguasa Mataram. Sebuah cerita mengabarkan bahwa pada tahun 1590 raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu "para pemimpin agama" Cirebon, Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Mungkin pada waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon suatu pertahanan militer di bagian barat kerajaannya (lihat juga bagian akhir Bab XX-7).
Dapat dipastikan bahwa Pangeran Ratu dari Cirebon, pengganti Orang Suci Sunan Gunungjati, dianugerahi usia panjang sekali, seperti pendahulunya. Ia baru meninggal pada tahun 1650. Penggantinya seorang raja yang dikenal dengan nama Pangeran Girilaya.
Di Cirebon Pangeran Ratu pasti mengalami pergolakan zaman, yaitu munculnya kekuasaan Belanda, berdirinya Batavia, dan peperangan raja-raja Mataram dan Banten melawan kota itu. Tidak ada kenyataan bahwa Pangeran Ratu bertindak dengan kekerasan mempengaruhi keadaan politik pada waktu itu. Meskipun begitu, wibawa kerohanian keturunan Sunan Gunungjati tidak diragukan. Pada paruh kedua abad ke-17 dinasti itu terpecah menjadi beberapa cabang, yang masing-masing mempunyai keraton.
Pada abad ke-17 dan ke-18, di keraton-keraton Cirebon telah berkembang kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal itu antara lain terbukti dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini pun menunjukkan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunungjati itu masih berlangsung.

Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah Sunda pada tahun 1705 telah diserahkan oleh susuhunan di Kartasura kepada Kompeni (VOC) di Betawi. Keraton-keraton para keturunan Sunan Gunungjati di Kota Cirebon masing-masing tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad ke-20

Read more