Terlalu sedikit diketahui tentang sejarah Jawa Barat dari zaman sebelum
Islam. Karya-karya tulisan Sunda kuno, yang mestinya dapat memberikan
keterangan-keterangan, tersimpan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga sukar diselidiki.
Sudah sejak zaman pra-Islam Jawa Barat terpengaruh oleh peradaban Jawa.
Karena penyebaran agama Islam oleh orang Jawa yang telah merebut daerah
sepanjang pantai utara (perebutan daerah ini akan dibicarakan dalam
bagian-bagian berikutnya), bahasa Sunda sebagai bahasa tulis untuk waktu lama
telah terdesak oleh bahasa Jawa. Baru pada abad ke-18 dan ke-19 menulis dalam
bahasa Sunda mulai menjadi kebiasaan lagi. Balada-balada dan sajak-sajak
kepahlawanan dalam bahasa Sunda, yang ditulis pada abad ke-19, memuat beberapa
cerita legenda tentang zaman dahulu (prasejarah). Bagi sejarawan,
legenda-legenda ini sedikit saja artinya.
Hanya dua legenda Jawa yang perlu diberitakan di sini, yaitu yang
mengisahkan adanya hubungan antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Satu dari dua
cerita ini menganggap bahwa berdirinya kota kerajaan Majapahit itu berkat usaha
seorang pangeran Sunda, yang konon terpaksa melarikan diri dari tanah asalnya.
Legenda ini mempunyai beberapa versi, yang termuat dalam buku-buku cerita (Serat
Kandha) dan cerita-cerita babad, baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun di
Jawa Barat. Tidak diketahui apa yang menjadi dasar penyusunannya; legenda itu
tidak didasarkan pada cerita sejarah yang sudah dikenal dari tulisan Jawa yang
lebih dapat dipercaya.
Cerita lain tentang hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa Timur
terdapat dalam balada-balada Jawa atau Jawa-Bali, boleh jadi dari abad ke-15
atau ke-16, yang melukiskan suatu ekspedisi raja Sunda ke Majapahit, dan
kekalahannya dalam pertempuran melawan raja Jawa. Seorang putri Sunda, yang
seharusnya diperuntukkan bagi raja Majapahit, memegang peranan penting dalam
legenda ini.
Juga tentang cerita ini kebenaran sejarahnya diragukan secara menyeluruh
atau sebagian.
Satu-satunya yang dapat kita simpulkan dari adanya legenda-legenda Jawa
ini ialah kemungkinan adanya hubungan lama yang tidak selalu bersahabat -
mungkin lewat laut di sepanjang pantai utara - antara Sunda dan Jawa Timur.
Waktu penduduk Jawa Islam dari Jawa Tengah telah menguasai kota-kota pelabuhan
di Jawa Barat, berakhirlah hubungan langsung antara Jawa Timur dan Jawa Barat.
Daerah-daerah yang sering disebut dalam legenda-legenda Sunda sebagai
daerah kekuasaan raja-raja yang dianggap penting ialah Pajajaran dan Galuh.
Keraton Pajajaran konon terletak dekat Kota Bogor sekarang. Di situ ditemukan
suatu piagam batu bertulis dari zaman Pajajaran (bertahun 1333 M.).
Kota pelabuhan di pantai utara Pajajaran terletak dekat muara Ciliwung,
tempat Jakarta sekarang. Sebelum zaman Islam, tempat itu bernama Sunda
Kelapa; nama Kalapa ini kiranya masih lama dikenal orang Indo-Cina.
Nama Jakarta, Jaya- Karta, itu diberikan oleh Jawa Islam dari Banten yang telah
merebutnya (lihat Bab VIII-4).
Daerah Galuh dahulu terletak di sebelah barat dan barat daya Kota
Cirebon sekarang. Tidak diketahui dengan tepat tempat tinggal raja-raja Galuh
dahulu. Dapat diduga, Indramayu (mungkin dahulu bernama Dermayu), dekat muara
Cimanuk - sungai yang mempunyai daerah aliran yang luas - dahulu merupakan kota
pelabuhan Kerajaan Galuh, kerajaan tua di Sunda. Akibat endapan-endapan lumpur,
pangkalan lautnya sekarang tidak berarti lagi.
VII-2 Permulaan Jawa Barat
memeluk agama Islam: Cirebon
Salah satu berita tertua tentang Cirebon dalam hubungannya dengan agamaIslam terdapat dalam buku Suma Oriental, karangan musafir Portugis, Tome
Pires. Yang disebutkan oleh Tome Pires sebagai pendiri pedukuhan Islam pertama
(mungkin) di Cirebon ialah ayah Pate Rodin Sejarah keluarga Cina ini, yang
menurut Tome Pires konon menurunkan raja-raja Demak, telah dibicarakan panjang
lebar dalam Bab II-2. Setelah mendarat di Gresik (dan mungkin memeluk agama
Islam), lebih dulu Cu-Cu menetap di Demak. Pada waktu itu (dalam sepuluh tahun
terakhir abad ke-15) Demak masih diperintah oleh seorang penguasa
"kafir", raja taklukan maharaja Majapahit. Penguasa Demak itu telah
memanfaatkan jasa-jasa pedagang Cina Islam tersebut, mungkin untuk meningkatkan
perkembangan ekonomi kota pelabuhannya. Dalam hubungan itu, sesudah beberapa
waktu berlalu ia mengutus Cu-Cu ke Barat, ke Cirebon (atau mungkin membantu
prakarsa Cu-Cu dengan kekuasaan dan slat-alat) untuk mendirikan perkampungan di
sana, yang akan membantu hubungan dagang yang makin meluas antara Demak dan
Jawa Barat. Rupanya, usaha pedagang Cina itu berhasil baik. Sesudah beberapa
waktu, setelah menjadi kaya dan mempunyai sekadar kekuasaan, ia kembali ke
Demak. Kemudian keluarganya dapat pula memegang kekuasaan pemerintahan di kota
pelabuhan itu.
Pemberitaan Tome Pires tentang dasawarsa terakhir abad ke-15 ini tidak
dikuatkan oleh cerita-cerita Jawa atau Sunda. Oleh karena musafir Portugis itu
kira-kira 25 tahun kemudian berada di Jawa, berita itu pantas dipercaya. Dari
keadaan demikian kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Demak secara
pasti dan nyata menjadi Islam, sudah ada hasrat yang kuat untuk memperluas
kekuasaan (ekonomi) ke arah barat. Panen padi yang sangat besar, yang
dihasilkan dataran rendah aluvial (berkat endapan lampur) yang subur sepanjang
pantai utara Kendal dan Cirebon itu, merupakan hasil tambahan yang lumayan bagi
perdagangan beras Demak dengan pedagang-pedagang dari seberang.
Dari pemberitaan Tome Pires tidak terbukti bahwa Cina Islam itu di
Cirebon telah mendirikan permukiman yang benar-benar baru. Nama tempat itu
menimbulkan dugaan bahwa penduduk aslinya orang-orang Sunda. Menurut berita
Pires, pangkalan laut yang bagus itu telah dijadikan alasan bagi orang yang
penuh inisiatif itu untuk mendirikan factorij 'perkantoran yang diperkuat' bagi
perdagangan Demak. Kemungkinan, daerah Cirebon (seperti beberapa daerah lain di
sebelah timurnya) ada di bawah kekuasaan raja "kafir" Sunda di Galuh
dan Pajajaran. Kerajaan Galuh konon sudah kehilangan kemerdekaannya pada zaman
dahulu.
Tome Pires menyebut beberapa kota pelabuhan antara lain Cirebon dan
Demak yang pada permulaan abad ke-16 agak penting, yaitu Losari, Tegal, dan
Semarang. Mengenai sejarah kota-kota ini ia tidak dapat memberikan keterangan
yang terinci. Yang jelas dapat diterima ialah bahwa hubungan antara Demak dan
Cirebon diselenggarakan dengan kapal-kapal pantai, seperti juga hubungan antara
Demak dan Gresik, tempat asal Cu-Cu. Musafir Portugis itu juga memberikan
beberapa keterangan mengenai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat yang masih
menjadi milik raja Pajajaran yang "kafir" itu, yang menolak
kedatangan "kaum Moor" (orang-orang Islam). Ini secara tidak langsung
menguatkan dugaan bahwa kampung dagang, yang oleh perantara Cina dari Demak
didirikan di Cirebon, merupakan tambahan daerah bagi kaum Islam.
Suma Oriental masih memuat berbagai
pemberitaan mengenai perdagangan laut antara para pedagang Cirebon dan Malaka.
Kepala kampung Jawa dekat Malaka atau di Malaka, yang bernama Upeh, konon
berasal dari Cirebon. Oleh orang Portugis ia disebut Pate Kedir. Pate Kedir
dari Malaka-Upeh ini kiranya di tempat asalnya Cirebon termasuk orang yang
terpandang, juga di kalangan raja. Tidak diketahui siapa raja itu.
Oleh karena Tome Pites meninggalkan Jawa kira-kira pada tahun
1515, maka berita-berita tentang perdagangan laut yang pesat di Cirebon itu
diperkirakan menyangkut masa akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dari
pemberitaannya, dapat dipahami bahwa pada waktu itu baik di Demak maupun di
Cirebon terbentuk kelompok-kelompok pedagang Islam yang berhubungan antara yang
satu dan yang lain. Para anggota kelompok-kelompok itu konon orang-orang
berdarah campuran. Masih belum dilupakan orang bahwa keluarga-keluarga
terkemuka mempunyai asal usul Cina.
VII-3 Wali dari Cirebon,
Sunan Gunungjati, legenda dan sejarah
Cerita tutur Jawa dan Sunda mengenai permulaan agama Islam di Cirebon
ternyata tidak memberitakan apa-apa tentang jemaah Islam lama, yang disebut
oleh Tome Pires dan yang asal mulanya sama dengan yang ada di Demak. Menurut
cerita-cerita pribumi, pujian tentang pengislaman daerah-daerah ini sepenuhnya
ditujukan kepada satu orang perintis agama saja, yang sesudah meninggal diberi
julukan Sunan Gunungjati, sesuai dengan nama bukit dekat Cirebon tempat beliau
dimakamkan.
Ada sebuah legenda Jawa yang menceritakan bahwa seorang saudara sepupu
atau kakak Raden Rahmat (yang kelak menjadi Sunan Ngampel Denta, orang suci di
Surabaya) telah menetap di Grage (yaitu Cirebon). la bernama Jenal Kabir.
Menurut legenda ini, agama Islam di Jawa Timur dan di Jawa Barat itu sama
tuanya. Kecenderungan cerita yang mudah ditafsirkan ini menyebabkan legenda itu
kurang dapat dipercaya.
Patut dicatat suatu kisah dalam buku cerita Jawa (Serat Kandha),
bahwa Aria Bangah - raja Galuh atau Pajajaran dalam legenda Sunda - adalah anak
seorang wanita Islam dari Grage. Jadi, menurut cerita ini, terjalin hubungan
keluarga antara masyarakat Islam dan keluarga raja Sunda. Cerita Jawa Timur
tentang Ratu Darawati, putri Islam dari Campa, yang telah dimasukkan ke dalam
keputrian istana raja Majapahit, merupakan cerita yang senada dengan legenda
tentang Cirebon ini.
Selain dari cerita-cerita yang berdiri sendiri-sendiri ini, yang
ditemukan dalam sebuah buku cerita, menurut pendapat umum di kalangan penulis
cerita-cerita babad, Sunan Gunungjati telah mengangkat agama Islam menjadi
agama yang paling penting di Jawa Barat. Banyak cerita dalam kesusastraan Jawa
dan Jawa - Sunda yang mengisahkan asal usul dan kehidupan orang suci dari
Cirebon ini. Dalam penelitian sejarah ini hal-hal tersebut tidak akan
dikemukakan sebab cerita-cerita itu pada umumnya termasuk kelompok legenda
tentang orang-orang suci Islam yang bersifat edukatif. Mungkin mitos-mitos kuno
dari zaman pra-Islam, dan yang berasal dari Jawa Barat, telah banyak menambah
legenda tentang para pendakwah Islam di tanah Sunda, Banten,
dan Cirebon ini.
Laporan-laporan dan kisah perjalanan orang Portugis memuat cukup banyak
pemberitaan yang dapat dipercaya tentang penyebar agama Islam ini, yang kemudian
berkembang menjadi seorang negarawan dan pendiri kerajaan-kerajaan di Cirebon
dan Banten. Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya tentang Sadjarah Banten,
dan dalam karangan-karangan ilmiahnya yang terbit kemudian, banyak menaruh
perhatian terhadap sejarah orang suci ini. la bernama Nurullah; kemudian
terkenal dengan sebutan Syekh Ibnu Molana. Penulis-penulis Portugis mengenalnya
dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril, yang menurut Djajadiningrat merupakan
satu orang saja.
Orang yang kemudian terkenal dengan
nama Sunan Gunungjati itu berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Di
situ agama Islam pada akhir abad ke-13 sudah menjadi agama yang paling kuat.
Rupanya, perdagangan dengan daerah-daerah di Seberang (Malaka) dan dengan
daratan Asia selama dua abad telah mengakibatkan terjadinya percampuran ras di
kalangan terkemuka di kota-kota pelabuhan.
Dengan direbutnya Pasei oleh orang-orang Portugis pada tahun 1521, maka
Nurullah pergi naik haji ke Mekkah. Tindakan itu, karena dilakukan pada waktu sulitnya
hubungan perjalanan dan adanya peperangan di berbagai daerah, jelas merupakan
bukti dari semangat keagamaan dan kerasnya kemauan. Setelah kembali dari Tanah
Suci pada tahun 1524, ia tidak bermukim di Sumatera Utara atau di Semenanjung,
yang dikuasai atau terancam oleh bangsa Portugis yang kafir itu, melainkan ia
pergi ke Pulau Jawa; di sana ia disambut baik di keraton raja Demak, yang baru
beberapa puluh tahun masuk Islam. Konon, ia diberi hadiah saudara perempuan
Raja Tranggana sebagai istri. Mungkin Nurullah, sebagai peziarah dari Mekkah,
mengetahui perkembangan pemerintahan Kesultanan Turki di Asia Depan dan Eropa
Timur. la menganjurkan kepada raja Demak, iparnya, untuk bertindak sebagai raja
Islam sejati. Gelar sultan yang dipakai Tranggana, dan perluasan kekuasaannya
dengan kekerasan yang merugikan kerajaan "kafir" Majapahit, mungkin
sebagian merupakan pengaruh iparnya, yang dalam perjalanannya telah menginsafi
benar panggilan Islam untuk memperluas daerahnya.
Dengan izin dan bantuan Sultan Tranggana, tidak lama sesudah tahun 1524
Nurullah berangkat dari Demak menuju ke Banten untuk mendirikan jemaah Islam di
daerah raja "kafir" Pajajaran. Perkembangan Banten akan dibicarakan
dalam Bab berikut ini.
Menurut pemberitaan penulis Portugis, Mendez Pinto (yang tidak
sepenuhnya dapat dipercaya), penguasa Islam di Banten yang masih baru ini pada
tahun 1546 ikut serta dalam serangan Demak terhadap Pasuruan (baca: Panarukan)
di ujung timur Jawa, suatu serangan yang berakibat buruk bagi Sultan Tranggana.
Menurunnya kekuasaan pusat, sesudah wafatnya Sultan Tranggana, dimanfaatkan
oleh Nurullah dari Banten untuk menetap di Cirebon. Dapat diduga bahwa pada
zaman pemerintahan Sultan Tranggana, kota pelabuhan Cirebon dengan masyarakat
Islamnya yang berdarah campuran Cina itu tidak besar kebebasannya. Sunan
Gunungjati-lah yang berhasil mengubah Cirebon menjadi ibu kota kerajaan yang
merdeka.
Waktu ia benar-benar telah pindah dari Banten ke Cirebon, umurnya telah
lebih dari 60 tahun. Alasan mengapa ia meninggalkan kota pelabuhan Banten yang
makmur itu untuk menetap di Cirebon tidak diketahui orang. Dapat dimengerti
bahwa ia - juga karena asal usul istrinya dari Demak - lebih suka tinggal di
tempat yang tidak terlalu jauh dari pusat kehidupan Islam di Jawa Tengah, yaitu
Masjid Demak, daripada di sudut negeri yang paling barat. Cerita-cerita tutur
Jawa memberitakan adanya pengaruh kebudayaan di Cirebon yang datang dari
peradaban Majapahit yang "kafir" itu, yang keluarga-rajanya pada
tahun 1526 telah diusir oleh orang-orang Islam. Tempat kediaman raja di
Cirebon, yang masih ada peninggalan-peninggalannya, dengan jelas menunjukkan
adanya ciri-ciri yang meniru contoh Jawa lama dari abad ke-18 (lihat Pigeaud, Java,
jil V, denah I dan fI). Tidak ada kepastian bahwa Sunan Gunungjati, segera
sesudah menetap di Cirebon, mulai mendirikan keraton besar. Yang jelas ialah
bahwa ia telah menyuruh membuat masjid yang besar, atau menyuruh memperluas
tempat ibadat yang ada, dengan gaya yang sama seperti Masjid Suci Demak, yang
telah menjadi model bagi semua masjid besar di kota-kota besar Jawa. Tahun yang
ditatah pada batu bangunan pada masa pemerintaho raja pertama yang merdeka di
kota itu.
Menurut cerita Banten (Sadjarah Banten), Sunan Gunungjati itu
sampai tahun 1552 masih berkedudukan di Banten. Kabarnya, ia telah menyerahkan
Cirebon yang sudah lama dikuasainya kepada salah seorang putranya. Baru sesudah
putra itu - yang hanya dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, yang
mengingat tempat makamnya - meninggal pada tahun 1552, sultan yang telah tua
itu mengambil keputusan untuk pindah selama-lamanya dari Banten ke Cirebon.
Mungkin ia bermaksud juga membaktikan dirinya pada kehidupan rohani dan
penyebaran agama Islam. Di kota pelabuhan Banten yang ramai itu tinggallah
putranya yang lain, Hasanuddin, sebagai raja.
Sementara itu, ada kemungkinan bahwa pada masa hidup Sultan Tranggana
dari Demak (ia meninggal pada tahun 1546) Sunan Gunungjati - setidaknya
sekali-sekali - telah tinggal di Cirebon. Cerita yang memberitakan bahwa ia di
situ telah menerima Sahid dari Tuban, yang kelak menjadi Sunan Kalijaga, yang
diberinya salah seorang anak perempuannya sebagai istri, memang layak
dipercaya. Sahid, seorang bangsawan Jawa yang mungkin berasal dari kerajaan tua
Majapahit, sesudah bertempat tinggal di Cirebon baru pergi ke Keraton Demak
(mungkin dengan membawa rekomendasi dari Orang Suci Nurullah kepada iparnya
Sultan Tranggana). Penghormatan tinggi yang diterima oleh bangsawan Jawa dari
Tuban itu di Keraton Demak agaknya telah menyebabkan penghulu Masjid Suci (di
Demak) meninggalkan Demak dan mendirikan "kota suci" Kudus (lihat Bab
IV-2).
Raja yang tua itu, yang mungkin semasa hidupnya sudah memakai gelar
susuhunan, pada tahun 1570 meninggal dalam usia lanjut di Cirebon - mungkin
telah lebih dari 80 tahun. la dimakamkan di bukit rendah di luar kota,
Gunungjati, konon mula-mula bernama Gunung Sembung. Mungkin juga bahwa ia
semasa hidupnya pernah tinggal di situ. (Bandingkanlah Susuhunan Prawata dari
Demak, dan Sunan Giri dari Gresik; mereka hidup sezaman).
Pengaruh agama yang meluas dari Cirebon ke tanah Sunda ternyata besar
sekali. Makam susuhunan suci dari Gunungjati merupakan tempat ziarah yang
paling ramai dikunjungi orang di Jawa Barat. Penyebaran agama Islam dan
meluasnya bahasa dan kesenian Jawa ke tanah Sunda bagian timur merupakan
pengaruh Cirebon.
Kekuasaan pemerintahan yang berarti tidak dimiliki susuhunan dari
Cirebon. la berusaha memperkuat posisi politiknya dengan jalan perkawinan.
Setelah ia sendiri kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana dari Demak,
ia menyuruh putranya, Hasanuddin dari Banten, pada tahun 1552 kawin dengan
putri yang ditinggalkan raja. Sultan Pajang, Jaka Tingkir, dan Ratu Kalinyamat
dari Jepara, yang karena jatuhnya keluarga-raja Demak telah menjadi penguasa-penguasa
yang paling kuat di Jawa Tengah, sangat menghormati dia.
Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa wibawa kerohanian Sunan
Gunungjati dan penggantinya di Jawa Barat sebenarnya kurang besar dibandingkan
dengan "para ulama" Giri/Gresik di Jawa Timur pada abad ke-16 dan
lebih-lebih pada abad ke-17 (Djajadiningrat, Banten, hal. 100 dan
seterusnya). Mungkin perlu diperhitungkan juga bahwa Gresik dan Surabaya pada
awal abad ke-16 sudah mempunyai jemaah Islam. Lagi pula, pengaruh agama Islam
yang datang dari Giri/Gresik dikuatkan lagi oleh kenangan akan peradaban
"kafir", yang beberapa abad lamanya telah berkembang di Jawa Timur.
Dalam kedua hal itu, yaitu usia tradisi Islam dan perkembangan kebudayaan pada
abad ke-16 dan ke-17 dan sesudahnya, Jawa Barat masih ketinggalan dari Jawa
Timur.
VII-4 Pemimpin•pemimpin
agama Cirebon yang selanjutnya
Menurut cerita sejarah di Jawa Barat, pada tahun 1570 Sunan Gunungjati
sebagai penguasa Cirebon telah diganti oleh seorang cicitnya, yang hanya
terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Tentang dia amat
sedikit yang diketahui. Di satu pihak, ia telah mengalami kemakmuran Banten
sebagai kota pelabuhan dan runtuhnya kerajaan "kafir" terakhir di
Jawa Barat, yaitu Pakuwan Pajajaran. Tidak ada bukti bahwa prajurit-prajurit
dari Cirebon ikut bertempur dalam penaklukan Pakuwan; konon Pakuwan telah
diduduki oleh orang-orang dari Banten. Di pihak lain, raja Cirebon yang kedua
mengalami kematian Sultan Pajang pada tahun 1586 dan lahirnya Kerajaan Mataram
di Jawa Tengah sebelah selatan.
Sungguh menarik perhatian bahwa raja-raja Mataram sejak semula dalam
perempat terakhir abad ke-16, mempunyai hubungan yang cukup baik dengan
penguasa-penguasa setempat di daerah Jawa sebelah barat daerah inti kerajaan,
yakni daerah itu di sebelah barat Sungai Bogowonto. Para penguasa di daerah
pedalaman bagian barat Jawa dan juga para raja Cirebon agaknya tidak memberikan
perlawanan dan mengakui penguasa Mataram. Sebuah cerita mengabarkan bahwa pada
tahun 1590 raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu "para pemimpin
agama" Cirebon, Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok
yang mengelilingi kotanya. Mungkin pada waktu itu raja Mataram menganggap
Cirebon suatu pertahanan militer di bagian barat kerajaannya (lihat juga bagian
akhir Bab XX-7).
Dapat dipastikan bahwa Pangeran Ratu dari Cirebon, pengganti Orang Suci
Sunan Gunungjati, dianugerahi usia panjang sekali, seperti pendahulunya. Ia
baru meninggal pada tahun 1650. Penggantinya seorang raja yang dikenal dengan
nama Pangeran Girilaya.
Di Cirebon Pangeran Ratu pasti mengalami pergolakan zaman, yaitu
munculnya kekuasaan Belanda, berdirinya Batavia, dan peperangan raja-raja
Mataram dan Banten melawan kota itu. Tidak ada kenyataan bahwa Pangeran Ratu
bertindak dengan kekerasan mempengaruhi keadaan politik pada waktu itu.
Meskipun begitu, wibawa kerohanian keturunan Sunan Gunungjati tidak diragukan.
Pada paruh kedua abad ke-17 dinasti itu terpecah menjadi beberapa cabang, yang
masing-masing mempunyai keraton.
Pada abad ke-17 dan ke-18, di keraton-keraton Cirebon telah berkembang
kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal itu antara lain terbukti
dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan Islam, yang disebut suluk,
yang bercorak mistik. Hal ini pun menunjukkan bahwa pengaruh rohani Sunan
Gunungjati itu masih berlangsung.
Kedaulatan atas daerah Cirebon termasuk daerah-daerah Sunda pada tahun
1705 telah diserahkan oleh susuhunan di Kartasura kepada Kompeni (VOC) di
Betawi. Keraton-keraton para keturunan Sunan Gunungjati di Kota Cirebon
masing-masing tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan dengan tunjangan uang
dari pemerintah Hindia Belanda hingga abad ke-20
0 komentar