MAKALAH KASUS LBH
Di susun oleh :
1.
Anis Safitri
2.
Didik Mulyadi
3.
Feri Anggriawan
4.
Titi Winda Alfiani
KELAS XI IIS 3
TP. 2016\2017
MAN 1 JEPARA
ANALISIS KASUS KEKERASAN DALAMRUMAH TANGGA DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENURUT PERSPEKTIF HAKASASI MANUSIA
A. Latar Belakang Hak asasi manusia dipahami secara mendasar
sebagai hak yang dimiliki oleh
individu karena mereka adalah manusia, dari sini hak asasi manusia dipahami
memiliki sifat-sifat hakiki, universal, tidak dapat dicabut, tidak dapat
dibagi, serta saling bergantung. Sejarah tentang HAM sendiri diyakini sudah
dimulai dari sekitar abad ke-13 di Eropa, diawali tentang perdebatan filsafat
tentang liberty dan bahkan hak itu sendiri yang paling besar adalah pemahaman
tentang konsep-konsep konstitusi seperti prinsip pembatasan kekuasaan absolut
dalam suatu negara, beberapa sumber formal yang diyakini sebagai cikal bakal
dari konsepsi HAM secara global adalah Magna Charta (1215), Declaration of
Abroath (1320) Bill of Rights of England and Wales (1688-1689). Kemudian yang
lebih modern dan “radikal” tertuang dalam The American Declaration of
Independence (1776) serta peristiwa Revolusi Prancis dengan konsep mendunianya
Liberty, Egality, and Fraternit. Sejak medio abad 19, isu tentang HAM
berkembang menjadi isu sentral dalam perpolitikan internasional dan hubungan
antar negara di dunia. Terlebih setelah berakhirnya Perang Dunia ke II dengan
efek destruksi yang luar biasa besar yang mencangkup korban jiwa dan kehancuran
infrastruktur material yang tak bisa diukur lagi kerugiannya. Melihat
kehancuran kemanusiaan yang begitu besarnya maka munculah suatu bentuk
kesadaran kemanusiaan internasional tentang HAM, dimana disusunlah suatu
deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia oleh sidang umum PBB pada 10
desember 1948 yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UDHR (DUHAM).
Deklarasi ini secara mendasar menjadi komponen sentral dan dokumen utama dalam
hukum kebiasaan internasional yang selanjutnya diturunkan sebagai hukum
nasional yang mengatur keadaan-keadaan dan syaratsyarat tertentu yang harus
dipenuhi dalam upaya penerapan serta penegakan HAM, walaupun sebenarnya UDHR
sendiri disusun sebagai suatu resolusi yang bersifat tidak mengikat. Dalam UDHR
yang terdiri dari 30 pasal yang disepakati secara universal terdiri dari
hal-hal pokok dan standart-standart yang harus dipenuhi dan dijamin oleh setiap
negara demi tegaknya nilai-nilai HAM dimana selanjutnya hal hal tersebut
dijadikan dasar utama dari setiap kovenan maupun konvensi internasional tentang
HAM. Selanjutnya prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam UDHR ini
diformalisasikan serta dikodifikasikan ke dalam bentuk-bentuk kovenan maupun
konvensi internasional yang lebih spesifik mengatur tentang standart-standart
penegakan HAM universal seperti Kovenan internasional tentang hak sipil dan
politik (ICCPR), Kovenan Internasional tentang hak sosial, ekonomi, dan budaya
(ICESCR), Konvensi hak anak (CroC), Konvensi penghapusan diskriminasi bagi
wanita (CEDAW), Konvensi penghapusan dikriminasi rasial (CERD), serta konvensi
anti penyiksaan (CAT). Selanjutnya akan dibahas lebih mendalam tentang CAT, The
United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment yang disepakati pada 26 juni 1987 oleh 20 negara1. Yang
dimaksudkan untuk mencegah perlakuan dan pemberlakuan penyikdsaan di seluruh
dunia, dengan didasari oleh art 5 UDHR dan art 7 ICCPR dimana ditegaskan bahwa
“ no one shoul be subjected to torture “. Konvensi ini menyebutkan tentang
definisi penyiksaan sebagai : Any act by which severe pain or suffering,
whether physical or mental, is intentionally inflicted on a person for such
purposes as obtaining from him or a third person, information or a confession,
punishing him for an act he or a third person has committed or is suspected of
having committed, or intimidating or coercing him or a third person, or for any
reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is
inflicted by or at the instigation of or with the consent or acquiescence of a
public official or other person acting in an official capacity. It does not
include pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to
lawful sanctions2. Selanjutnya diatur pula berbagai hal seperti kewajiban
negara untuk menjamin upaya-upaya anti penyiksaan baik oleh aparatur negara
maupun oleh rakyatnya, yuridiksi dari penerapan konvensi ini, serta upaya-upaya
internasional untuk memfasilitasi konvensi ini. Indonesia sendiri meratifikasi
konvensi ini pada 28 oktober 19983 yang selanjutnya perundangan tentang upaya
anti penyiksaan muncul pada UU no 5 Tahun 1998. Dimana mulai dari sini munculah
berbagai perangkat hukum dalam negeri yang mengatur tentang pemberlakuan
pelarangan segala bentuk tindakan penyiksaan baik dalam Undang-Undang negara,
KUHP, maupun KUHAP. Dengan diratifikasinya konvensi anti-penyiksaan oleh
Indonesia, maka dengan begitu seluruh wilayah di Indonesia harus menjalankan
peraturan tersebut, termasuk DIY. Dimana selanjutnya adalah kewajiban dari
negara untuk menjamin 1 2 pemberlakuan dari perundangan yang telah disusun,
namun seringkali hal ini menjadi kendala umum, dimana implementasi di lapangan
kerap tidak sesuai bahkan menyalahi peraturan dan perundangan tersebut. Lebih
spesifik lagi berkaitan dengan bagaimana aparat negara menjalankan fungsinya.
Paper ini selanjutnya akan membahas mengenai bagaimana signifikansi dari
pengimplementasian CAT yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dan diformalkan
serta dikodifikasi ke dalam perundangan maupun hukum-hukum formal negara dengan
mengambil studi kasus dari berbagai kasus yang terjadi di wilayah provinsi DIY.
Bedasarkan latar belakang tersebut, esai ini akan menganalisasi bagaimana
implementasi CAT (Kovensi Anti-Penyiksaan) terhadap penegakan hukum mengenai
kasus kekerasan di Provinsi DIY ?” Sebagai landasan konseptual dalam
menganalisis signifikansi dan implementasi khususnya di wilayah provinsi DIY,
kami menggunakan pendekatan The Rights-based Theory yang menyatakan bahwa semua
anggota masyarakat dalam suatu negara mempunyai hak yang melekat pada dirinya
dan harus dihormati oleh negara. Tugas dan kewajiban negara adalah melindungi
warga negara dari penyiksaan, memenuhi kebutuhan warga negara akan perlindungan
HAM, serta menyosialisasikan kepada masyarakat luas tentang penting dan essensi
menegakkan Hak Asasi Manusia, terutama Hak Anti-Penyiksaan. B. Sekilas Pandang
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Kota Yogyakarta
merupakan lembaga di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
berperan dalam memberikan pelayanan bantuan hukum kepada individu maupun
struktural yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan adil dalam bermasyarakat.
Sebagaimana visi dan misi LBH, peran-peran tersebut dirumuskan dalam 3 peran
utama, antara lain : 1. Mempengaruhi kebijakan publik yang menentukan
terjaminnya hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial. Prasyarat mutlak adalah
meningkatkan kemampuan dan kepedulian aparatur negara bagi kekuatan-kekuatan
organisasi masyarakat sipil untuk mendorong lahirnya kebijakan publik yang
berpihak pada pemenuhan Hak Asasi Manusia, serta melinddungi masyarakat dari
penyiksaan, 2. Memainkan peran bersama masyarakat sipil dalam menentukan arah
politik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan keadilan
gender. Menentukan arah transisi politik berarti memprakarsai dan memanfaatkan
ruang publik atas dasar kepentingan rakyat kecil, 3. Memberikan layanan dan
bantuan hukum bagi masyarakat miskin maupun marginal, tanpa diskriminasi.
Persoalan hukum, HAM dan demokratisasi merupakan sebuah sistem yang saling
terkait satu dengan yang lain. Dari ketiga isu sentral tersebut, maka LBH
Yogyakarta senantiasa melakukan penajaman masalah dengan memposisikan perannya
dengan memandang persoalan hukum, Ham, dan demokratisasi perlu dikongkritkan
dalam memberikan bantuan hukum. Masalah hukum dan peradilan yang berkembang
begitu kompleks bukan lagi sekadar permasalahan teknik prosedural untuk
menentukan apakah suatu perbuatan/tindakan bertentangan dengan hukum
perundang-undangan atau tidak. Dan selama ini, kepastian hukum hanya dapat
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Selama tahun 2010, LBH Yogyakarta
menerima pengaduan masyarakat, berbagai macam kasus, baik perkara pidana maupun
perdatan, hingga pelanggaran hak sosial dan ekonomi. Sepanjang tahun 2010, kategori
pelapor.pengaduan terbanyak disampaikan oleh perorangan. Korban langsung yang
mencapai 312 laporan. Jumlah pelapor kelompok hanya sebanyak 28 laporan saja.
Sepanjang tahun 2010 lalu, masyarakat berharap akan kehidupan yang lebih baik
dan penegakan hukum yang mengedepankan rasa keadilan masyarakat dan nampaknya
hanya menjadi “mimpi di siang bolong” saja. Upaya pemerintah yang selama ini
memberantas kasus pelanggaran HAM hanya sebatas prosedural, dan mengandung
politik citra. Tingginya angka pengaduan yang masuk dari masyarakat kepada LBH
Yogyakarta, menjadi indikator masih lemahnya peranan negara dalam pemenuhan dan
penegakan hak masyarakat di mata hukum.
B. Hasil Penelitian (Interview result) Dalam mendapatkan
sumber informasi mengenai
implementasi CAT (Kovensi AntiPenyiksaan) terhadap penegakan hukum mengenai
kasus kekerasan di Provinsi DIY, esai ini akan menghadirkan lampiran data
berupa sumber primer, dengan melakukan wawancara kepada Sukiratnasari, S.H
(advokat Lembaga Bantuan Hukum Provinsi DIY divisi AntiPenyiksaan. 1. Bagaimana
peran LBH dalam menangani kasus penyiksaan di DIY ? Narasumber : LBH hanya
melakukan bantuan advokasi hukum saja, mendampingi korban untuk mendapatkan
hak-haknya, serta melakukan sosialisasi ke publik tentang Hak Asasi Manusia, 2.
Bagaimana LBH mendapatkan informasi ? Apakah dari korban langsung atau
melakukan penelitian di lapangan ? Narasumber : Mayoritas korban datang untuk
mengadu kepada kami. 3. Dari kalangan mana sajakah, para korban penyiksaan
berasal ? Narasumber : Korban berasal dari lapisan mana saja, namun yang sering
menjadi korban penyiksaan adalah Pedagang Kakli Lima (PKL), mahasiswa
demonstrasi yang dibubarkan secara koersif oleh aparat, hingga anak jalanan.
Akan tetapi, khusus kasus anak jalanan, biasanya mereka (korban) melapor ke LBH
bersama LSM lain, 4. Mengenai kasus anak jalanan, Bagaimana bentuk penyiksaan
yang diterima ? Narasumber : bentuknya dapat bermacam-macam, seperti perampasan
barang hasil mengamen, dirazia oleh aparat Satpol Pramong Praja, kemudian
dibawa ke suatu tempat yang mereka (anak jalanan) tidak ketahui, disiksa oleh
aparat, diberi makan, dst. 5. Bukannya seharusnya peran Satpol PP membina
sosial, dan bukan menyiksa seperti itu, Apa motif aparat melakukan pelanggaran
tersebut ? Narasumber : Ya, itulah peran aparat yang seharusnya membina
masyarakat, namun susbtansinya mereka (aparat) justru banyak melakukan
kekerasan dengan alasan ketertiban. 6. Salah satu peran LSM di sini adalah
melakukan kampanye anti-kekerasan, Apa sasaran LBH dalam meyosialisasikan
tentang hal tersebut ? Narasumber : Kalau kampanye, kami memiliki sasaran ke
publik, metode yang digunakan antara lain : mengirimkan surat sosialisasi ke
instansi publik yang terbukti melakukan penyiksaan untuk mengevaluasi tindakan
mereka untuk diperbaiki agar lebih meghormati HAM, Kami juga biasanya
mengundang KOMNAS HAM dalam hal ini, Untuk mengadakan press conference. 7.
KOMNAS HAM, adalah salah satu lembaga pemerintah, Bagaimana respon mereka
terhadap kasus yang ditangani oleh LBH ? Narasumber : Tanggapan dari Komnas HAM
yang menyatakan bahwa kasus yang bersangkutan dapat dikategorikan ke
pelanggaran HAM, dan juga akan ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat ke
instansi terkait (pelaku kekerasan) supaya mengevaluasi tindakan-tindakan mereka,
sehingga dapat memperbaiki sistem yang lebih baik, 8. Dari sekian kasus yang
dihadapi, Apakah aparat memberikan semacam ganti-rugi kepada korban penyiksaan
? Narasumber : Kasusnya susah untuk ditindaklanjuti karena kurangnya insisiatif
dari aparat terkait untuk meperbaiki sistem mereka, selain itu pihak korban
juga terkadang takut untuk melaporkan kasusnya kepada kami, karena banyak
ancaman dari sekitar, sehingga mayoritas korban melakukan jalan
damai/kekeluargaan meyelesaikan kasusnya, 9. Bagaimana tanggapan LBH tentang
negara Indonesia, apakah Indonesia telah memenuhi hak warga negaranya untuk
mendapatkan perlindungan dari penyiksaan ? Narasumber : Indonesia telah membuat
peraturan (UU) serta meratifikasinya dengan baik, semacam implementasinya masih
jauh dari harapan. Negara ini rajin untuk meratifikasi konvensi-konvensi
Internasional dalam penegakan HAM, namun budaya politik para elit cenderung
mengabaikan, 10. Apa saja yang membuat Indonesia sulit menerapkan sistem
penegakan HAM secara substanstif (konteks hak anti penyiksaan) ? Narasumber:
permasalahan budaya yang paling menonjol dan sulit diubah. Misalnya kepolisian,
sesuatu yang mustahil untuk membuat seorang pencuri mengakui perbuatannya,
apabila pelaku kriminal tidak disiksa terlebih dahulu. Proses pendidikan
aparatur negara yang sudah menganjurkan cara-cara koersif dalam menangani suatu
kasus, dengan alasan hal tersebut paling cepat dan efektif. Walaupun pendidikan
HAM telah disosialisasikan kepada aparatur negara, namun tidak sanggup mengubah
mereka untuk lebih menghargai hak asasi manusia. 11. Apa contoh kasus
penyiksaan yang pernah ditangani oleh LBH DIY ? Narasumber : Banyak sekali ya,
namun akhir-akhir ini kami menangani kasus anak yang bernama AG yang medapatkan
kekerasan dalam proses penyelidikan dari Kepolisian. AG mengalami salah tangkap
pencurian sepeda motor, dan ternyata pelakunya adalah seorang pemuda bernama
RZ. AG pada akhirnya tidak terbukti bersalah melakukan curanmor tersebut. Kasus
lain, Seorang pria asal Klaten, Jateng menjadi korban salah tangkap oleh
Kepolisian Kulonprogo, karena dituduh mencuri barang majikannya. Dan kemudian
ditangkap oleh polisi dan dibawa ke suatu tempat, untuk diinterograsi dan
disiksa menggunakan suara keras (senjata api), sehingga telingannya tidak berfungsi
secara normal, dan dipukul hingga mengaku. Walaupun korban tidak mengaku, namun
LBH Yogyakarta menyelidiki kepolisian untuk menyelesaikan kasus dan akhirnya
korban tidak terbukti bersalah karena tidak ada saksi mata di lapangan. Aparat
yang terbukti menyiksa mendapat sanksi berupa penurunan jabatan. D. Analisis
Laporan ini akan menganalisis kasus penyiksaan yang telah terjadi di
Yogyakarta, bedasarkan wawancara langsung dengan Lembaga Bantuan Hukum
Yogyakarta (LBHY). Laporan penelitian ini mengulas secara mendalam bentuk
pelanggaran HAM (penyiksaan) yang terjadi, mengulas pelanggaran bedasarkan
pasal di Konvensi Anti-Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Menurut LBH Yogyakarta, Indonesia telah meratifikasi konvensi anti-penyiksaan
(CAT) yang telah berbentuk Undang-Undang. Indonesia juga telah memiliki lembaga
seperti Peradilan HAM yang di ASEAN sangat jarang ditemukan. Hal tersebut
sesuai dengan konvensi anti-penyiksaan pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap
negara pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi hukum,
atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegahtindak penyiksaan di dalam
wilayah hukumnya” Namun, hal yang perlu dicatat adalah bahwa, Indonesia hanya
sebatas prosedural saja dalam menegakkan HAM terutama hak anti-penyiksaan,
namun implementasinya masih kurang, banyak kasus penyiksaan yang dilakukan oleh
lembaga penyelenggara negara sendiri. Hal yang perlu dilakukan adalah
memaksimalkan lembaga audit HAM selain pemerintah yang senantiasa mengawasi
negara dalam memenuhi hak anti-penyiksaan warganya. LBH Yogyakarta selama tahun
2010 menangani berbagai kasus penyiksaan yang telah disebutkan di hasil
penelitian. Kasus tersebut didominasi oleh tindakan penangkapan kepolisian
sebagai aparatur negara yang sewenang-wenang, menyiksa dalam proses
penyelidikan, serta menggunakan kekerasan dalam menahan terdakwa. Hal tersebut
bertentangan dengan isi konvensi anti-penyiksaan (CAT) pasal 6 ayat 2 yang
berbunyi : “Negara tersebut harus segera melaksanakan penyelidikan awal bedasarkan
fakta yang telah terkumpul” Namun, pada kenyataannya lembaga kepolisian yang
berwenang sebagai penegak hukum di masyarakat justru melanggar hukum. Pada
kasus tersebut, kepolisian cenderung menggunakan (force) dalam proses
penyelidikan sehingga memaksa terdakwa untuk mengakui tindakannya. Walaupun,
kebanyakan kasus berujung pada terdakwa yang salah tangkap, sehingga
mendapatkan kerugian seperti penyiksaan, pencemaran nama baik, dan hak asasi
lainnya. Peran LBH Yogyakarta berhasil dalam memberi saran Kepolisian untuk
tidak melakukan kekerasan/penyiksaan. Pada kasus lain, hal yang perlu
disayakngkan adalah korban penyiksaan merasa malu dan takut untuk melaporkan
tindakan kekerasan yang dialaminya ke LBH, maupun lembaga yang terkait. Korban
merasa terancam psikologis, hingga ancaman penyiksaan fisik dari pelaku,
apabila korban melapor ke pihak yang berwajib. Hal tersebut sangat berlainan
dengan pasal 13 Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT) yang berbunyi : “Setiap negara
harus menjamin agar warga negara yang menyatakan dirinya telah disiksadalam
wilayah kewenangan hukum negara, memiliki hak untuk mengadu agar kasusnya
diperiksa dan diselidiki segera, dan tidak memihak (imparsial). Langkah yang
harus diambil adalah menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi
dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya”.
Permasalahan ini sangat disayangkan. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya
perhatian dan kepastian jaminan hukum dari Pemerintah kepada rakyatnya,
sehingga rakyat yang menjadi korban cenderung ketakutan untuk melaporkan
tindakan penyiksaannya. Maka dari itu, peran NGO, seperti LBH sangat membantu
negara dalam memberikan pelayanan hukum terhadap masyarakat sipil yang
mengalami tindakan penyiksaan. Pendidikan dan informasi tentang HAM penting
adanya diberikan kepada lembaga penyelenggara negara, seperti aparat penegak
hukum, sipil dan militer, aparat kesehatan, pejabat publik, hingga kepolisian.
Namun, di Indonesia, menurut LBH Yogyakarta, hanya Akademi Kepolisian saja yang
memberikan pendidikan khusus mengenai HAM, sehingga wajar apabila banyak kasus
penyiksaan dilakukan oleh aparatur negara yang diakibatkan oleh ketidakfahaman
mereka. Hal tersebut bertentangan dengan substansi Konvensi AntiPenyiksaan
(CAT) pasal 10 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap negara harus menjamin bahwa
pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya
dimasukkan dalam pelatihan bagi aparat penegak hukum, sipil atau militer,
aparat kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang kaitannya dengan
penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap
ditahan atau dipenjara. Namun, sisi positifnya, negara telah mencantumkan
peraturan mengenai larangan penyiksaan dalam sebuah instruksi yang dikeluarkan
oleh negara. Hal tersebut tercermin bedasarkan pasal substansi Konvensi
Anti-Penyiksaan (CAT) 10 ayat 2, yang berbunyi : “Setiap negara harus
mencantumkan larangan ini dalam peraturan atau instruksi yang dikeluarkan
sehubungan dengan tugas dan fungsi orang-orang tersebut di atas” Inilah Kasus Mandek Yang Ditangani Kepolisian
Versi LBH Makassar
Laporan : Burhan dari Makassar
Makassar , Beritakota Online – LBH
Makassar merelis Kasus mandek yang ditangani pihak Kepolisian didaerah ini.
Berikut data kasus yang di tangani
kepolisian yang mandek di Polda Sulawesi Selatan :
-Korban kasus penembakan, Saribu Dg
Pulo meninggal dunia dan mustari Dg. Gading mengalami luka tembak mengakibatkan
cacat seumur hidup pada 8 oktober 2009 yang dilakukan anggota polres Sungguminasa.
Dengan nomor Laporan LBP /169 / IX/2009 /Siaga B tanggal 8 Oktober 2009 .
-Korban penyerobotan dan
pengrusakan, Syamsuddin Dg Nyomba dilakukan oleh Anggota Polres Sungguminasa
pada 21 Desember 2010. Dengan pelaku Yunus Rifai /Anggota polres Sungginasa
,Selaku kuasa hukum mengurus tanah milik Hariadi Winantea , seorang pengusaha
domisili Surabaya .
-Korban penembakan Surullah alias
Bagong oleh anggota polsek Rappocini Briptu Syukur pada 2 Juli 2011.
-Korban Penembakan, Ansu yang
ditembak dibagian paha belakang tembus kedepan pada Oktober 2011.
-Marzuki, Meninggal Dunia akibat
luka tembakan. Terjadi pada 3 Oktober 2013.
-Yunus Daeng Ngempo menjadi korban
penembakan dalam sengketa tanah masyarakat polongbangkeng takalar pada 2
Desember 2013 dilakukan oleh anggota polda.
-Rudi Lazuardi Pinantik Meninggal
dan Ardi mengalami luka akibat ditembak oleh anggota Patmor Polsek Rappocini
yakni Andi Ade Kurniawan dan Fahruddin Arsal pada 23 Januari 2014.
-Rezky alias Oppo meninggal dengan
luka tembak dua di punggung, 1 dikepala, 1 diperut karena di tuduh sebagai DPO
kasus curas yang dilakukan Oknum anggota Polsek Tallo pada 1 Juni 2014
-Masyarakat Desa Koroncia Kecamatan
Malili dalam sengketa tanah eks HGU dilakukan oleh anggota polisi/Brimob Polda
pada 5 Februari 2014.
-Muhammad Arif (12) mengalami luka
tembak yang dilakukan oleh Bripka Muslimin Anggota Provost polsek Tallo pada 4
Agustus 2014
-Andi Arfa Juna ditembak karena
dituduh sebagai DPO Curas oleh Aiptu Arthenius M Bura Anggota Resmob Polda
-Pelaku Muhammad Tahir (luka tembak/
cacat), Ikbal (luka tembak) Asriadi (luka tembak) pada tanggal 2 Oktober 2014
yang dilakukan oleh anggota polisi polsek tallo
-Puluhan mahasiswa dan sivitas akademi UNM . 46 orang yang terdiri dari mahasiswa buruh bangunan, anak smp, karyawan dikampus unm yang ditangkap secara sewenang oleh polisi polrestabes makassar. 4 diantaranya mahasiswa UNM ditahan yang dilakukan oleh anggota polisi jajaran Polda pada 13 november 2014
- Asep alias ikhsan arham (wartawan Rakyat Sulsel) menjadi korban kekerasan polisi saat meliput didalam kampus universitas pada tanggal 13 november 2014.
-Puluhan mahasiswa dan sivitas akademi UNM . 46 orang yang terdiri dari mahasiswa buruh bangunan, anak smp, karyawan dikampus unm yang ditangkap secara sewenang oleh polisi polrestabes makassar. 4 diantaranya mahasiswa UNM ditahan yang dilakukan oleh anggota polisi jajaran Polda pada 13 november 2014
- Asep alias ikhsan arham (wartawan Rakyat Sulsel) menjadi korban kekerasan polisi saat meliput didalam kampus universitas pada tanggal 13 november 2014.
-Iqbal Lubis (Fotografer Tempo)
menjadi korban kekerasan anggota jajaran polda saat pengamanan aksi demonstrasi
13 November lalu di kampus UNM
-Ikrar, wartawan celebes Tv menjadi
korban penyerangan polisi kedalam kampus UNM pada 13 November 2014 lalu.
-Muhammad Arif meninggal dunia
karena diduga kuat ditabrak kendaraan taktis polisi dan di injak-injak oleh
polisi pada saat pengamanan demonstrasi kenaikan BBM pada 27 November 2014
-Manna Dg Simbung dan Aso Dg Nuru
menjadi korban penganiayaan oleh puluhan anggota Brimob Pa’baeng-Baeng Polda
Sulselbar diantaranya Bripda Wahyu dan Sudirman pada 31 Januari 2015 lalu.
Jenis kasus yang di terima dan di tangani LBH :1. KDRT
2. Kekerasan Seksual dan hak reproduksi
a. Pelecehan Seksual
b. Perkosaan
c. Pencabulan
d. Aborsi
3. Kasus Pidana lainnyaa. Kekerasan terhadap anak
b. Penganiayaan yang diakibatkan ketidak adilan gender
c. Kejahatan Perkawinan (al.pemalsuan identitas perkawinan, poligami diluar prosedur)
d. Kekerasan Dalam Pacaran
e. Traficking
f. Perzinahan
g. Kasus LBT (Lesbian, Biseksual, Transgender & Transeksual) yang mengalami diskriminasi hukum. (Untuk masalah personalnya diupayakan untuk mediasi)
4. Perkara Perdata
a. Keluarga (waris, hibah, cerai, nafkah, perwalian, harta bersama, Mut̢۪ah yang tidak dibayar dan hak-hak lain pasca cerai)
b. Adopsi terhadap anak di luar kawin
c. Ingkar janji
d. Perbuatan Melawan Hukum
5. Ketenagakerjaan
a. PHK
b. hak reproduksi buruh perempuan,
c. upah, mutasi, penurunan posisi/demosi
d. K3
e. Hak-hak normatif buruh perempuan
6. Kasus-kasus lainnya
a. Kasus pidana atau perdata terkait dengan aturan kewarganegaraan dan keimigrasian (al. Penahanan paspor isteri oleh suami)
b. Kasus-kasus terkait dengan isu pembakuan peran gender (seperti kasus seorang isteri yang digugat suami karena isteri berkarir)
c. Kasus-kasus terkait dampak kemiskinan struktural (seperti kasus penggusuran, razia PSK/Pedila, razia KTP, dll)
d. Kasus-kasus terkait kebijakan yang diskriminatif melalui Judicial Review, Class Action, Citizen Law Suit, dll
0 komentar